Wednesday, April 6, 2016

ORANG YANG AKHIRNYA HAMIL ( 12 TAHUN MENIKAH )

True Story - 12 Tahun 'Kosong', Saat Hamil Langsung Kembar

Adeline Monike (36)
Student Recruitment & Business Development Senior Manager UPH
Ibu dari Dionysius Devendra Sanusi (1 bulan) dan Calliope Chiara Sanusi (1 bulan)
“Penantian 12 tahun itu berujung dengan kelahiran si kembar”

“Kudamba satu, justru kudapat dua. Sungguh, indah rancanganMu jauh melampaui harapanku dan dia. Kecewa dan air mata, kini berganti tawa bahagia. Terimakasih Tuhan tak terhingga...” Adeline Monike

8 Juni 2011, 06.45 pagi, anugrah itu datang. Pecah tangis putri dan pangeran mungilku bersamaan dengan senyum bahagiaku dan Edward.

Lebih dari satu dekade kami menanti. Dua belas tahun, bukan waktu singkat! Selama perjalanan pernikahan, inilah momen yang kami tunggu-tunggu: kehadiran anak di tengah keluarga. Bahagia tak terkatakan lagi. Tiada yang sia-sia dari segala usaha, kerja keras, dan doa yang tak pernah putus.

Menikah Muda
Bila kilas balik, rasanya rancangan hidupku mendekati sempurna. Aku berpendidikan, memiliki karir baik, dan menikah dengan lelaki yang kucintai.
Edward, kukenal ketika sama-sama kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung). Di situlah cinta kami bersemi. Tahun 1999, kami menikah. Umurku terbilang muda, 24 tahun. 
Tahun pertama pernikahan, kami hanya merasakan keindahan. Sama sekali tak terpikir akan kehadiran anak. Apalagi kala itu kami punya tanggungjawab masing-masing. Aku harus merampungkan kuliah S2 ku di Prasetiya Mulya – Jakarta, sementara Edward sedang menapaki karirnya. 
Waktu berjalan. Aku lulus kuliah dan bekerja. Usia pernikahan pun menginjak angka ketiga. Saat itulah gairah memiliki anak muncul, jauh lebih kuat dari tahun sebelumnya. Aku mulai membayangkan hal yang belum ada. Seorang anak yang menangis, merengek, merajuk, marah, tertawa dan memelukku serta memanggil “Mama”. Ah, itulah saat dimana hidupku bisa dibilang sempurna!

Usaha Pertama, Tak Berbuah
Berdua Edward, yang juga merasakan hal sama, kami memulai ‘perjalanan’. Tak pernah kusangka akan demikian panjang. Diawali dari sebuah rumah sakit di Karawaci, tak jauh dari tempat tinggal kami di Alam Sutra, Tangerang Selatan, ‘pencarian’ dimulai. Aku dan Edward lalu bertemu ginekolog, berkenalan dengan dua obat keras yang katanya untuk hormon. Satu membuatku pusing sedangkan yang lain bikin liver Edward nggakenak. Sayangnya, kami tidak intens melakukan pemeriksaan, on and off. Kadang periksa, kadang tidak.

30 = Gelisah
Hingga jelang usia 30, aku belum juga hamil. Rasa was-was tanpa kucegah sering hinggap. “Gawat, aku belum juga punya anak...” batinku resah. Apalagi usia pernikahanku sudah 5 tahun, apalagi yang kutunggu? Walau tak ada desakan dari keluarga, tetap saja aku risau.
Kegalauanku ditanggapi teman-teman baikku. Mulai dari dokter ahli hingga jalur alternatif mereka sodorkan. Walau tak mudah, aku dan Edward berkomitmen mulai lagi dari awal. Dari berbagai rekomendasi, akhirnya kami pilih seorang dokter kandungan terkenal. 
Tapi lagi-lagi, aku tak terpuaskan. Antrian demikian panjang, rasanya tak terbayar. Bayangkan, dijadwalkan bertemu antara jam 9-10 malam, tapi baru bisa masuk antara jam 11-12 malam. Itupun tidak sampai LIMA menit!
Jujur, aku kecewa. Rasanya segala pertanyaanku tak terjawab. Lima menit! Apa yang bisa diharapkan? Kami hanya diberi obat, tanpa konsultasi maksimal. Hhh, cukup dua kali aku periksa di sana!

Cobaan Itu...
Tak putus menyerah, kami mencoba berbagai tempat. Keluar masuk rumah sakit, dari ujung Jakarta ke ujung lain. Melalui serangkaian pemeriksaan, akhirkan diputuskan Edward harus menjalani operasi varikokel. Itu dilakukan atas rekomendasi seorang urolog di satu RS di Jakarta Utara.

Walau membantu, peristiwa itu menimbulkan rasa traumatik bagiku. Pasalnya Edward sempat mengalami henti napas beberapa menit akibat selang pernapasan terlalu cepat ditarik. Oh, Nak, tak terbayangkan betapa naik turun perasaanku. Walau pahit, tak cukup kuat membuatku dan Edward angkat tangan. Kami begitu menginginkanmu...

Dari Jakarta Hingga Singapura
Berbekal tekad itu, kami berjuang lagi. Rumah sakit dan ginekolog masih menjadi “sahabat” setia. Kami menjalani terapi antibodi di RS Jakarta Pusat. Hingga memutuskan melakukan inseminasi di RS bilangan Jakarta Selatan. Pasalnya dokter di sana menemukan bahwa aku menderita PCO (PCO (Polycystic Ovaries Syndrome). Kata dokter, aku mengalami ketidakseimbangan hormon yang menyebabkan sulit hamil. Oh, apa lagi ini? 
Walau tak begitu paham, saran dokter kami jalankan sepenuh hati. Mungkin Tuhan belum berkehendak, program inseminasi itu gagal juga.
Saking ingin mencari second opinion, kami bahkan sempat melakukan check up dan konsultasi dengan dokter senior di National University Hospital, Singapura. Tapi rupanya, nasihat dan protokol yang dianjurkan sama seperti para dokter di Indonesia. 
Karena sudah tahu masalahnya, aku masih berharap PCO-ku bisa diatasi dengan terapi. Apalagi kata dokter ada kemungkinan untuk itu. Untuk itu, bukan hanya medis, jalur alternatif pun kujabani. Kudatangi shinshe di Glodok yang memberikan obat luar biasa pahit, refleksi di Gading Serpong yang sakitnya minta ampun, akupuntur, hingga konsultasi radiestesi di Bumi Serpong Damai (Radiestesi, red: metoda untuk menentukan radiasi medis, guna mendeteksi penyebab penyakit dan menemukan pengobatan yang tepat). Tempat terakhir yang kusebut antrian mulai dari jam 05.00 pagi. Intinya, dimana tempat yang orang bilang bagus, kami meluncur ke sana.

Mencoba Bayi Tabung
Seperti sudah diatur olehNya, akhirnya kami dipertemukan dengan Dr. Ivan R. Sini, MD, FRANZCOG, GDRM, SpOG dari Bunda International Clinic (BIC). Juga, pasangan dr. Edwin dan Lala yang membuka praktik radiestesi di Tajur, Bogor. Dengan demikian aku menjalani upaya medis, juga alternatif. Keduanya sangat komunikatif, hingga membuatku nyaman.
Sama seperti ginekolog sebelumnya, dr. Ivan juga mendiagnosa bahwa aku menderita PCO. Berbagai pilihan terapi dan strategi dijabarkan panjang lebar. Aku dan Edward merasa nyaman, dan memutuskan untuk percaya 100 persen!
Akhirnya tibalah saat itu, tahun 2009, kami mencoba program bayi tabung. Sekali protocol, memakan sekitar 50 Juta. Bukan biaya murah, tapi syukurlah masih bisa kami penuhi. 
Upaya bayi tabung pertama, dengan long protocol. Dan, berhasil! Namun sayangnya di luar kandungan (ectopic pregnancy), sehingga harus diangkat.
Ugh, sedih sekali. Kebahagiaan yang hampir kami rengkuh, lepas lagi. Tapi tak seperti sebelumnya, kali ini aku dan Edward tak beralih ke tempat lain. Inilah saatnya: kami harus percaya pada ahlinya, dan menyerahkan sepenuhnya pada Yang Maha Kuasa.

Kali ke-4, Berhasil!
Tak putus harapan, kami mencoba lagi dengan strategi berbeda. Kali ini dengan short protocol, gagal. Ketiga kalinya, kembali ke long protocol dengan penambahan satu strategi, juga gagal! Sempat putus asa? Nyaris! Tapi kami saling menguatkan. Siapa lagi kalau bukan kami berdua? Hatiku optimis mengatakan, sebentar lagi, sebentar lagi! Itu memotivasiku untuk terus mencoba.
Akhirnya kami mencoba lagi, long protocol. Tindakan persis dilakukan bertepatan dengan ulangtahun Edward ke-37Saat itu diputuskan transfer embrio dilakukan di state blastocyst (dibiarkan hidup di luar lebih lama sebelum ditransfer).
Saat kembali dua minggu kemudian, aku sempat kecewa karena tes urin negatif. Oh, betapa aku terpuruk lagi, juga suamiku. Sepanjang perjalanan pulang aku diam, berjibaku dengan pikiranku sendiri. “Tidak, jangan lagi!” hatiku berteriak nyeri.

Kabar Bahagia Itu Datang
Tuhan memang Maha Baik. Saat aku sibuk menata hatiku yang kacau, Dia menenangkanku sedemikian cepatnya. Sore harinya, aku dikabari bahwa tes darah ternyata positif. Oh, harapan kembali membuncah! Betapa senangnya, sungguh proses unik yang tak mampu dicerna pikiran manusiaku.
Kebahagiaanku semakin lengkap, ketika dua minggu kemudian kami dikonfirmasi bahwa janin di dalam kandungan terdeteksi. Dan... kembar! Oh, Tuhan, kali ini aku benar-benar hamil, aku hamil! Aku dan Edward berpandangan, serasa tak menginjak dunia. Kucubit lenganku, kulihat binar di mata suamiku... Monike, ini nyata!

My Friends: Never Give Up
Dua malaikat kecilku lahir sudah. Melihat mereka, terbayarkan semua usaha aku dan Edward: waktu, pikiran, biaya, tenaga, juga air mata!
Aku hanya bisa mengatakan bagi pasangan lain di luar sana, carilah dokter atau terapis yang cocok. Bagi kami, komunikasi dua arah sangat penting. Kami tidak suka dijejali obat dan tindakan tanpa tahu tujuan dan strateginya. Tanyakan pada mereka berapa lama harus menunggu sampai ada indikasi sukses.
Terlepas dari hal itu, apa pun usaha manusia, Tuhan yang menentukan. Diberi olehNya, adalah karunia. Tidak diberi, bukan akhir dunia. n

Edward Sanusi (37), Deputy Director – System Network Engineer First Media, Suami
“Tuhan punya rancangan khusus untukku dan Monike

Periode menunggu dari transfer embrio hingga kabar kehamilan selalu tidak enak. Harap-harap cemas. Hari ‘penentuan’ itu benar-benar seperti roller coaster. Amat dramatis.

Masih lekat di ingatan saya, ada dua tes kehamilan yang dilakukan pagi itu, yaitu tes urin dan tes darah. Hasil tes urin diperoleh lebih awal, negatif! Kabar itu sungguh tak enak dan memukul. Namun sore harinya terjadi kejutan membahagiakan. Hasil tes darah keluar dan...positif!! Tak terbayangkan perasaan senangnya saya saat itu.

Senang Bercampur Cemas
Monike yang pertama kali mengabari. Kebetulan hari itu saya tengah dalam perjalanan tugas. Ketika mendengar Monike hamil, senangnya bukan kepalang dan bersyukur karena Tuhan memberi kesempatan ini.

Meski demikian, rasa cemas sempat juga membayangi karena kabar ini bukan yang pertama pernah kami dapatkan. Aku ingat bagaimana pada bayi tabung pertama, hasilnya pun positif, namun tumbuh di luar kandungan. Oleh karena itu, kami pun tidak langsung larut dalam perasaan senang. Kami berdoa memohon agar janin tersebut bisa berkembang dengan baik.

“This is it”
Ketika diketahui kalau janin yang dikandung Monike adalah kembar, ini juga sebetulnya paling membahagiakan. Mengingat di kesempatan sebelumnya walaupun hasil tes kehamilan positif, janin tidak terdeteksi sewaktu periksa ke dokter. Namun kali ini berbeda. Kami, dan saya rasa juga dokter Ivan, benar-benar merasa “This is it!” 

Penantian panjang kami akhirnya berujung pada diberinya suatu karunia besar oleh Tuhan. Kami amat bahagia bisa mendapatkan kesempatan itu, walau masih panjang perjalanan bagi janin tersebut hingga lahir ke dunia. Tapi kini, mereka benar-benar sudah lahir!

Rencana Tuhan
Saya percaya Tuhan punya rencananya sendiri. Walau kami baru memiliki anak di tahun ke-12 usia pernikahan, ini hanya membuktikan bahwa aku dan Monike memiliki pondasi kuat. Kami selalu berusaha bersama.

Sebagai suami saya juga setuju memeriksakan diri ke dokter. Percayalah, ini tak mudah. Pada banyak kasus, pria enggan melakukannya. Setelah itu, berbagai terapi pun saya jalankan, berdua dengan istri. Bagi saya, peran suami amatlah besar dalam upaya kehamilan ini. Bukan hanya dari sisi medis tapi juga mengupayakan pola hidup sehat. Juga dukungan secara moril mengingat pola pikir tradisional acapkali menempatkan tanggung jawab kehamilan di pihak istri. Desakan keluarga, pertanyaan dari kiri kanan, kesedihan saat mendengar kehamilan dari teman-teman seumur, bukanlah beban yang mudah ditanggung oleh istri. Di sinilah pentingnya peran suami untuk memberikan semangat dan pikiran positif.
Memang banyak pihak yang menganjurkan kami untuk adopsi. Namun, alasan kami memiliki keturunan bukanlah sekadar hadirnya seorang anak dalam keluarga. Secara personal, saya juga ingin meneruskan eksistensi gen saya di dunia dan melihat perpaduannya dengan gen istri saya. 

Banyak yang menertawakan hal ini, tapi bagi saya itu bagian dari tujuan makhluk hidup di dunia ini. Sayangnya, ini tak bisa dijawab dengan adopsi. Kini, saya telah memiliki Devendra dan Chiara. Tugas kami selanjutnya, mempersiapkan buah hati kami itu untuk mengisi hidup dengan bijaksana. Semoga.

Dr. Ivan R. Sini, MD, FRANZCOG, GDRM, SpOG, Bunda International Clinic Jakarta
Berusaha Memahami Sisi Psikologis Pasien
Sore itu saat berusaha menemui Dr. Ivan R. Sini, MD, FRANZCOG, GDRM, SpOG, di Bunda International Clinic Jakarta, sudah tampak ramai beberapa pasangan yang menjadi pasiennya. Dokter spesialis infertilitas ini sudah 15 tahun menangani banyak kasus pasangan yang lama belum mendapat momongan. 10 tahun ia berpraktik di Australia dan sejak tahun 2000 sudah menangani program bayi tabung.
Dr. Ivan R. Sini, MD, FRANZCOG, GDRM, SpOG, di ruang praktiknya 
“Ini bukan hanya masalah ngasih obat lalu jadi hamil. Kita sebagai dokter juga harus menangani secara empati. Harus tahu bagaimana perasaan pasien, secara psikologis juga. Kita harus bisa lebih berdiskusi sama pasien,” buka Dr. Ivan saat ditanya metoda apa saja yang ia berikan sehingga banyak pasiennya yang berhasil hamil.

Bahkan Dokter ramah itu bercerita, selalu menyediakan sekotak tisu untuk berjaga-jaga jika tiba-tiba pasiennya menangis saat berkonsultasi. “Datanglah ke dokter yang dapat memberikan banyak informasi secara jelas! Karena itu hak pasien,” sarannya.

Saking begitu terikatnya dengan pasien, satu kali ia pernah menangani kasus pasien yang 17 tahun tidak punya anak. Begitu si pasien melahirkan, ia pun sampai ikut menitikan air mata haru.
Dr. Ivan lalu membagi saran untuk pasangan yang sedang mengusahakan anak:
  • Lebih dari dua tahun, idealnya pasangan memeriksakan diri. Umumnya ada beberapa tes yang harus melibatkan baik suami atau istri. “Jadi tidak bisa hanya istrinya saja atau sebaliknya. Harus dua-duanya!” urai Vice President Director PT. Bundamedik ini.
  • Rajinlah memeriksakan diri untuk mengetahui apa penyebab tidak hamil. Mungkin ada beberapa kondisi – medis atau psikologis – yang menyebabkan sulit hamil. 
  • Kalau sudah di atas 35 tahun, jangan menunggu lama-lama lagi. Segeralah berobat! 
  • Jalani gaya hidup sehat. “Over weight, makan tidak teratur, akan berpengaruh pada kacaunya siklus. Bukan tidak mungkin, mungkin saja hamil akan tetapi peluangnya bisa lebih kecil,” tekan dr. Ivan menutup perbincangan.
Dimuat di: Tabloid Mom&Kiddie/2011

No comments:

Post a Comment